Tenaga Kerja sebagai Faktor Produksi
Pembicaraan mengenai tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia harus dibedakan ke dalam
persoalan tenaga kerja dalam usahatani kecil-kecilan (usahatani pertanian
rakyat) dan persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besar
yaitu perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya. Pembedaan ini penting
karena apa yang dikenal sebagai tenaga
kerja dalam usahatani tidaklah sama pengertiannya secara ekonomis dengan pengertian
tenaga kerja dalam perusahaan-perusahaan dalam perkebunan. Dalam usaha tani
sebagian besar tenaga kerja berasal deari keluarga petani sendiri yang terdiri
atas ayah sebagai kepala keluarga, isteri, dan anak-anak petani. Anak-anak
berumur 12 tahun misalnya sudah sudah dapat merupakan tenaga kerja yang
produktif bagi usaha tani. Mereka dapat membantu mengatur pengairan, mengangkut
bibit atau pupuk ke sawah atau membantu penggarapan sawah. Selain itu anak-anak
petani dapat menggembala kambing atau sapi, itik atau menangkap ikan dan
lain-lain yang menyumbang pada produksi pertanian keluarga. Tenaga kerja yang
berasal dari keluarga petani ini merupakan sumbangan keluarga pada produksi
pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah dinilai dalam uang. Memang uisaha
tani dapat sekali-sekali membayar tenaga kerja tambahan misalnya dalam tahappenggarapan
tanah baik dalam bentuk pekerjaan ternak maupun tenaga kerja langsung.
Bahwa peranan kerja yang berasal dari keluarga petani sendiri memang
peranan yang penting tidaklah hanya khusus kita dapati di Indonesia saja. Juga di
negara-negara yang sudah maju pertaniannya, isteri dan anak-nak petani juga ikutaktif menyumbang
pada kegiatan produksi. Kalau seorang petani mengalami kekurangan tenaga pada
saat penggarpan tanah sawah maka ia dapat meminta tolong pada tetangga dan
familinya dengan pengertian ia akan kembali menolongnya pada kesempatan yang
lain. Dengan cara begini tidak ada upah uang yang harus dibayar dan ini dapat
menekan ongkos tenaga kerja. Sifat tolong menolong ini ada pada petani dimana
saja, dalam satu desa atau lebih. Kaslan Tohir menunjukkan bahwa di Indonesia
tolong menolong ini lebih banyak terdapat pada tanaman padi daripada palawija.
Ini berarti bahwa tolong menolong memang benar-benar lebih banyak terdapat pada
tanaman daripada palawija. Ini berarti bahwa tolong mrnolong memang benar-benar
banyak terdapat pada pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian pekerjaan yang
sama pada tanaman yang sama. Petani yang menanam tembakau misalnya walaupun
memerlukanlebih banyak tenaga kerja tidak dapat mengharapkanbantuan tenaga
secara gratis. Pertama-tama ia akan mengerahkan tenaga kerja keluarga sendiri
sebanyak-banyaknya, baru setelah itu belum cukup maka diupahnya tenaga kerja
tambahan dari luar keluarga. Tenaga kerja keluarga sendiri sebanyak-banyaknya,
baru setelah ini belum cukup maka diupahnya tenaga kerja tambahan dari luar
keluarga. Tenaga kerja dari luar dapat berupa tenaga kerja harian atau borongan
tergantung pada keperluan. Tenaga kerja untuk penggarapan sawah biasanya diatur
secara borongan.
Tenaga
kerja dan pemimimpin usahatani
Kalau orang mengatakan bahwa dalam usahatani tenaga kerja adalah salah
satu faktor produksi yang utama, maka yang dimaksudkannya adalah mengenai
kedudukan si petanidalamusahatani. Petani dalam usahatani tidak hanya
menyumbangkan tenaga (labor) saja.
Dia adalah pemimpin (manager)
usahatani yang mengatur organisasi usahatani secara keseluruhan. Ia memutuskan
beberapa pupuk akan dibeli dan digunakan, beberapa kali tanah dibajak dan
diratakan, beberapa kali rumput-rumput akan dibersihkan dan bahkan dialah yang
memutuskan apakah akan dipakai tenaga kerja dari luar disamping tenaga kerja
dari keluarga sendiri. Jadi jelaslah bahwa disini kedudukan si petani sangat
menentukan dalam usahatani. Fungsi yang sangat penting ini disebabkan oleh
kedudukan rangkap dari petani itu. Dalam usahatani yang semakin besar maka
petani makin tidak mampu merangkap kedua fungsi itu. Fungsi sebagai tenaga
kerja harus dilepaskan, dan ia memusatkan diri pada fungsi sebagai pemimpin
usahatani (manager).
Lebih lanjut lagi ada kemungkinan ia memutuskan untuk mengangkat seorang
manajer yang kompeten. Manajer ini dapat secara penuh memimpin usahatani dengan
gaji tertentu danbertanggung jawab kepada petani pemilik ushatani.
Tenaga
kerja sebagai faktor biaya
Dalam bacaan-bacaan banyak kita dapati perbedaan perlakuan tenaga kerja
sebagai faktor biaya antara pertanian di negara-negara yang sudah sangat maju
(dengan luas rata-rata usahatani yang besar) dengan pertanian seperti di Indonesia
(yang luas rata-rata usahataninya sangat kecil).
Dinegara-negara yang sudah maju,kemajuan pertanian diukur dengan
tingginya produktivitas tenaga kerja, dan semua usaha diarahkan untuk
meningkatkan produktivitas itu. Sebaliknya di negarapnegara yang miskin seperti
dinegara kita prinsip yangdemikian tidak selalu cocok dengan leperluan. Kalau
di negera-negara maju tersebut faktor tenaga kerja merupakan faktor produksi
yang paling terbatas jumlahnya, maka di negara kita justru merupakan faktor
produksi yang paling kurang terbatas jika dibandingkan dengan tanah danmodal.
Dalam keadaan seperti pada negara yang sudah maju itu mesin-mesin “penghematan
tenaga kerja” (labor saving)
distemukan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan produktivitas
pertanian pada umumnya. Prinsip ekonomi pertanian seperti di Amerika Serikat
haruslah meningkatkan afisiensi dalam penggunaan tenaga kerja per orang dan
tidak pada peningkatan efisinsi dalam penggunaan tanah perhektar. Namun seperti
di Amerika Serikat, beberapa syarat harus dipenuhi untuk memnjamin efisiensi
penggunaan tenaga kerja yang maksimum yaitu a. persediaan tanah harus cukup; b.
alat-alat pertanian, mesin-mesin dan tenaga kerja (power) harus cukup; c. ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian
harus cukup; dan d. menejemen usaha tani harus jempolan (superior).
Salah satu sebab utama mengapa pertanian Amerika Serikat mengalami
kemajuan yang sangat hebat, sehingga menghasilkankelebihan produksi ekspor ke
seluruh dunia adalah karena syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi.
Universitas-universitas yang mengadakan spesialisasi dalam bidang pertanian
dibantu dan didorong agar maju. Usahatani yang besar-besar dengan penanaman
modal yang besar-besar dengan penanaman modal yang besar jumlahnya.
Produktivitas Tenaga Kerja
Para sarjana yang berasal dari Dnia Brat datang ke Indonesia dan negara-negara lain di
Asia yang sangat padat penduduknya dengan membawa bekal bahwa penawaran tenaga
kerja di daerah pedesaan adalah tidak terbatas dibanding dengan tanah dan modal
yang penawarannya sangat terbata. Asumsi yang demikian berasal dari pemikiran
sarjana-sarjana ekonomi klasik di Eropa. Para
sarjana tersebut melihat tenaga kerja yang berjubelan itu bekerja tidak
efesien. Bahkan lebih dari itu faktor-faktor produksi lainnya sangat kurang
dimanfaatkan – pupuk sedikit atau tidak dipakai sama sekali, pengairan
ditelantarkan dan seterusnya. Asumsi yang demikian ini kemudian mengambil
bentuk sebagai dokrin produktivitas merginal tenaga kerja yang nol (zeromarginal productivity of labor).
Doktrin demikian telah ditolak oleh banyak ahli sebagai tidak benar.
Schultz mencoba membuktikan bahwa di India pengurangan tenaga kerja desa
sebanyak 20 juta (8%) sebagai akibat epidemi influensa tahun 1918 – 1919 telah
menyebbakan berkurangnya areal tanaman dengan 4% dan daerah-daerah yang lebih
kecil tingkat kematiannya juga lebih kecil tingkat penurunan areal tanamannya.
Memang membuktikan ketidakbenaran doktrin yang demikian dengan data
kuantitatif tidaklah mudah. Namun secara kualitatif para peneliti akan
sependapat bahwa petani di negara-negara seperti Indonesia ini juga bekerja dan ikut
memberikan sumbangan pada kenaikan hasil produksi. Jadi produktivitas
marginalnya tidaklah nol. Clifford Geertz mengatakan bahwa nampaknya hasil padi
di sawah hampir selalu dapat ditingkatkan lagi dengan setiap penambahan tenaga
kerja misalnya dengan pemeliharaan tanaman yang lebih teliti, pengaturan air
yang lebihbaik, dengan lebih sering mencabuti rumput. Kalau ini memang benar
maka setiap pengurangan tenaga kerja haruslah berarti pengurangan hasil
produksi, karena itu produktivitas marginal tenaga kerja tidaklah nol, tetapi
positif.
Kalau doktrin ini terbukti tidak benar apa yang dapat kita katakan
tentang konsep pengangguran tak kentara (disguised
unemployment) yang demikian banyak dibicarakan dalam buku-buku ekonomi
pembangunan?
Yong Sam Cho dari hasil penelitiannya di Korea Selatan menyimpulkan bahwa
pengangguran itu bukanlah bersifat pengangguran tak kentara tetapi pengangguran
yang kelihatan cukup jelas (kentara), hanya saja mereka tidak menganggur
sepenuhnya tapi sebagian.
Dan istilah untuk itu bukanlah disguised
unemployment tetapi underemployment.
Disguised unemployment menhandung
konotasi adanya kelebihan tenaga kerja (surplus
labor) yang tidak rasional. Hal yang demikian tidak cocok dengan kenyataan.
Memang underemloyment dapat dapat
dibagi menjadi dua yaitu yang sifatnya teknis (pengangguran musiman, misalnya)
dan yang sifatnya sosial tradisional. Pengangguran yang sifatnya sosial dan tradisional
ini tidak bersifat penuh karena memang petani dan anggota-anggota keluarganya
pada kenyataannya bekerja. Memang bukanlah kelebihan tenaga kerja ditarik dari
daerah pedesaan karena lapangan kerja di kota
tidak lebih menarik daripada apa yang mereka harapkan di desa. Mereka mungkin
kurang bahagia tetapi keadaannya belum terlalu buruk untuk mendorong mereka
meninggalkan desa.
Demikian John Mellor telah menyusun dua buah fungsi produksi hipotesis
bagi tenaga kerja di negara-negara yang miskin dan belum maju dengan cara
membedakan dua keadaan pertanian.
a. Daerah subur, pertanian produktif, penduduk
padat
Daerah-daerah ini nampaknya dapat kita temukan
disebagian besar pulau Jawa yang pengairannya baik. Hasil produksi rata-rata
tenaga kerja di daerah seperri ini masih
selalu lebih tinggi daripada kebutuhan substensi (subsitence requirement).
Dalam keadaan yang demikian pertanian masih mampu
menyediakan makanan pada penduduk walaupun tingkat pendapatan sudah sangat
rendah. Walaupun tingkat pendapatan sudah demikian rendah tapi karena sangat
terbatasnya lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian, maka tidak mungkin
menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian. Penawaran tenaga kerja ini makin
lama makin besar, lebih-lebih jika tingkat pertambahan penduduk pada umunya
sangat tinggi misalnya 2,5 – 3% per tahun. Jumlah penawaran tenaga kerja ini
tergantung pada tingkat pertambahan penduduk di satu pihak dan pertambahan
kesempatan kerja di lain pihak.
b. Derah tandus, pertanian kurang
produktif,penduduk kurang padat
Daerah-daerah seperti Gunung Kidul, Wonogiri, Blitar
Selatan sampai Malang Selatan dan daerah-daerah pegunungan kapur lainnya
merupakan daerah yang seidikit memiliki sumber-sumber alam untuk pertanian yang
produktif. Perbandingan antara penduduk dan tenaga kerja dengan tanah-tanah
pertanian man0land ratio) sebenarnya
lebih rendah daripada daerah (a) di atas. Namun begitu karena tanah
pertaniannya kurang subur maka tingkat pendapatan di daerah itu lebih rendah.
Perbedaannya dengan keadaan di atas adalah bahwa disini produksi total tidak
dapat tinggi dan hasil produksi rata-rata tidak pernah lebih tinggi daripada
kebutuhan minimum untuk subsistensi. Untuk daerah-daerah yang demikian, makanan
penduduk banyak ditambah dengan ubi-ubian terutama gaplek dan daun-daunan. Mutu
gizi pertanian sangat rendah penarikan tenaga-tenaga kerja dari daerah seperti
ini untuk keperluan di luar daerah pertanian (atau transmigrasi) juga
akanmengakibatkan turunnya hasil peroduksi total.
Petani pada umumnya rajin dan semangat gotong royong
tinggi tetapi karena tanah memang tidak subur maka keadaan penghidupan sangat
menyedihkan. Di kedua daerah ini tidak kita temukan produktivitas tenaga kerja
yang nol atau negatif. Cara yang sedang diadakan untuk meningkatkan pendapatan
di daerah-daerah seperti ini adalah dengan menciptakan proyek padat karya yang
sekaligus menambah sumber-sember ekonomi. Misalnya penggalian saluran-saluran
irigasi, penggalian sumur-sumur untuk pengairan dan sebagainya. Tetapi
proyek-proyek demikian mungkin akan memakan waktu lama dalam penyelesaiannya
karena harus dicarikan waktu-waktu dan bulan-bulan dimana tenaga kerja desa
paling banyak menganggur. Pada waktu musim persiapan / penggarapan tanah petani
bekerja di sawah atau tegalnya masing-masing.
Penigkatan
mutu tenaga kerja
Produktivitas tenaga kerja pertanian dapat ditingkatakan melalui berbagai
cara antara lain dengan cara pendidikan danlatihan untuk meningkatkan mutu dan
hasil kerjanya. Sebagian besar dari hasil pengetahuan dan keterampilan petani
dalam bekerja diperoleh dari orang tuanya yang membimgbing sejak masih
anak-anak. Tetapi sudah pernah disebutkan teknologi baru di bidang pertanian
kadang-kadang berasal dari tempat yang jauh dari petani. Untuk menyampaikannya
kepada petani diperlukan suatucara khusus. Inilah tugas pendidikan dan latihan
bagi petani-petani yang sudah dewasa.pendidikan yang dimaksudkan disini tentu
saj bukan pendidikan elementer dan pendidikan dasar ilmu tumbuh-tumbuhan dan
ilmu hewan yang sudah diajarkan pada sekolah-sekolah dasar di desa, tetapi
pendidikan danlatihan tambahan dalam cara-cara bertani yang lebih produktif,
dalam penerapan penemuan-penemuan baru berupa alat-alat atau bahan-bahan
pertanian dan manajemen usahatanu pada umumnya.
Pendidikan dan latihan ini dilakukan oleh petugas-petugas penyuluhan
pertanian yang kompeten, tenaga kerja sukarela BUTSI dengan sedapat mungkin
disertai demonstrasi-demonstrasi dalam kebun-kebun percobaan Dinas Pertanian.
Pada malam hari dapat diadakan pertunjukan filem mengenai praktek-praktek pertanian
antara lain yang sudah maju pertaniannya. Di samping kemungkinan untuk
menirunya juga dapat merangsang motivasi dan daya kreasi petani.
Walaupun pada umumnya petani merupakan manajer usahatani yang baik,
tetapi implikasi setiap kebijaksanaan pertanian terutama
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baru. Denganbegitu mereka akan selalu mutakhir
dalam pemikiran-pemikirannya dan akan mampu membuat putusan yang tepat bagi
usahatani. Jadi peningkatan mutu petani dalam program yang demikian tidak hanya
bersifat teknis dan fisik, tapi juga bersifat mental danberhubungan dengan
ketrampilan manajemen.
Mobilitas dan Efisiensi Tenaga Kerja
Di atas sudah disinggung bahwa salah satu sebab penting mengapa tenaga
kerja berjubelan di pedesaan adalah karena kesempatan kerja di kota hampir tidak ada.
Industri-industri yang memerlukan banyak tenaga kerja belum berkembang.
Kalaupun ada biasanya memerlukan tenaga kerja yang terdidik atau terlatih,
suati syarat yang sukar sekali dipenuhi oleh petani di desa. Dalam keadaan yang
sangat mendesak banyak petani yang pergi ke kota mencari pekerjaan. Biasanya menjadi
pengendara becak, suatu pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan formal dan
latihan yang diperlukan sedikit sekali. Pekerjaan ini lebih menarik lagi karena
mereka tidak memerlukan rumah khusus untuk menetap di kota .
Mereka biasanya tidur di becak-becaknya baik di tepi-tepi jalan maupun di
tempat-tempat pemilik becak. Di samping tukangbecak yang tetap, mereka itu
kebanyakan petani-petani yang ingin mendapat tambahan pendapatan di kota . Pada saat-saat
penggarapan sawah dan masa panen, mereka dapat kembali ke desa. Dalam keadaan
perekonomian kota yang belum maju benar ada
mobilitas yang tinggi dari tenaga kerja antara desa dan kota . Hampir tidak ada petani yang memutuskan
untuk pindah ke kota
bersama keluarganya untuk mrncari pekerjaan. Biaya hidup di kota terlalu tinggi bagi mereka. Jadi di
samping pencarian pekerjaan bersifat musiman, juga kebanyakan tenaga kerja ini
adalah tenaga kerja laki-laki yang mempunyai keluarga di desa.
Di zaman sebelum kemerdekaan, pembukaan perkebunan-perkebunan yang banyak
jumlahnya merupakan suatu pemecahan yang baik. Perkebunan-perkebunan ini banyak
menggantungkan pada tenaga kerja musiman dari desa sekitarnya baik laki-laki
maupun perempuan. Sampai sekarang perkebunan-perkebunan tebu atau tembakau
menggunkan tenaga kerja petani dari desa-desa disekitarnya. Inilah yang oleh
Cliford Geertz dinamakan “industrialisasi tanpa urbanisai”.
Perkebunan-perkebunan merupakan indiustri pertanian yang menciptakan industri
dan lapangan kerja tanpa mendirikan kota-kota.
Dengan adanya perkembangan yang demikian maka penduduk desa tetap padat dan terus bertambah padat. Pendapatan petani terus menuru setelah
perkebunan-perkebunan banyak ditutup. Tidak hanya pekebunan gula tebu yang
dibumihanguskan pada zaman perang kemerdekaan, tapi juga karet, teh, kopi dan
lain-lain yang keadaan pasarannya di dunia terus memburuk. Keadaan demikian
sangat berbeda dengan Jepang dimana tenaga kerja desa banyak ditampung oleh
industri-industri di kota
yang mengalami perkembangan pesat.
Mobilitas tenaga kerja tidak terbatas di Jawa saja tetapi juga meliputi
pulau-pulau di luar Jawa. Perkembangan perkebunan tembakau di Deli, Sumatera
Timur,adalah contoh terpenting yang menyebabkan perpindahan besar-besaran
tenaga kerja dari jawa. Untuk perkebunan tembakau Sumatera Timur saja pada
tahun 1939 hampir seperempat juta orang meninggalkan Jawa. Banyak diantara
mereka yang setelah kontrak habis kembali ke Jawa, ke desanya yang lama.
Jadi masalah tenaga kerja di desa di Indonesia bukanlah masalah
penyedotan tenaga kerja yang berlebihan di desa untuk ditampung di kota-kota
dalam proyek-proyekindustri, tetapi masalah mobilitas, yaitu masalah alokasi
dan realokasi yang sifatnya dapat musiman / sementara. Industri di negara kita
jumlahnya belum berarti untuk menampung tenaga kerja desa ini. Dari
uraian-uraian tersebut jelaslah bahwa mobilitas tenaga kerja desa baik yang
sifatnya sementara maupun yang sifatnya permanen mempunyai dua tujuan ekonomis
yang penting.
Pertama, sebagai satu cara
mengurangi perbedaan tingkat pendapatan antara desa dan kota , kalau ditinjau dari sudut petani usaha
untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian. Dan kedua, sebagai suatu cara untuk meningkatkan efisiensi produksi
pertanian. Banyak sarjana ekonomi terlalu menekankan peranan petani sebagai
salah satu faktor produksi pertanian tanpa mengingat bahwa mereka itu adalah
manusia individu yang tidak saja mempunyai kebutuhan ekonomi tapi juga mempunyai kebutuhan non-ekonomi. Selain
itu petani adalah juga anggota masyarakat pedesaan yang mempunyai ciri-ciri
khusus yang berbeda dengan masyarakat kota .
Berbagai aspek sosiologis dan tradisi ikut mempengaruhi putusan petani untuk
pindah meninggalkan lingkungan masyarakat desa. Satu atau beberapa indikator
ekonomi saja mungkin tidak mampu menerangkan perilaku petani yang dirasa kurang
development minded. Beberapa
pengarang mengakui bahwa mobilitas tenaga kerja di Indonesia cukup tinggi walaupun
dalam keadaan kesempatan tenaga kerja sangat terbatas.
Efisiensi
dalampenggunaan tenaga kerja
Salah satu contoh lain dimana peninjauan ekonomi saja tidak mampu
menerangkan penggunaan tenaga kerja secara efisiensi adalah penggunaan ani-ani untuk memetik padi tanaman di
Jawa. Penny dan Anwar Arif mengadakan penelitian khusus tentang soal ini di
Sumatera Utara pada tahun 1962. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa
penggunaan ani-anai yang terus
menerus semata-mata didorong oleh kebiasaan dan diperkuat oleh perasaan masa
bodoh dan keinginan yang salah untuk pembagian rezeki di desa.
Hal yang demikian disebut oleh Clifford Geertz sebagai pembagian
kemelaratan (shared poverty).
Walaupun data ekonomi yang dikumpulkan memang tidak menjurus ke arah kesimpulan
yang demikian itu, namun kesalahannya terletak pada asumsi bahwa kebiasaan dan
keinginan pembagian rezeki tersebut seakan-akan dapat dipisahkan sama sekali
dari faktor ekonomi. Dengan kata lain tidak ada faktor-faktor ekonomi dalam
tindakan petani yang berdasarkan kebiasaan dan keinginan pembagian rezeki
tersebut seakan-akan dapat dipisahkan sama sekali dari faktor ekonomi. Dengan
kata lain tidak ada faktor-faktor ekonomi dalam tindakan petani yang
berdasarkan kebiasaan dan dalam keinginannya terhadap pembagian rezeki itu.
Yang pasti adalah bahwa penggantian ani-ani dengan sabit bagi petani tidaklah
semata-mata berarti penggantian satu
alat produksi dengan alat produksi yang lain yang lebih efisien (menghemat
tenaga), tetapi menyangkut persoalan perubahan fungsi produksi secara
keseluruhan
Post a Comment
Post a Comment