Idul
Adha pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan
“Hari Raya Haji”, dimana kaum muslimin yang sedang menunaikan haji
yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Mereka semua memakai pakaian serba putih dan
tidak berjahit, yang di sebut pakaian ihram, melambangkan persamaan akidah dan
pandangan hidup, mempunyai tatanan nilai yaitu nilai persamaan dalam segala
segi bidang kehidupan. Tidak dapat dibedakan antara mereka, semuanya merasa
sederajat. Sama-sama mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Perkasa, sambil
bersama-sama membaca kalimat talbiyah.
Disamping
Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Qurban”, karena pada
hari itu Allah memberi kesempatan kepada
kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu
mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi kesempatan untuk berkurban, yaitu
dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan kita
kepada Allah SWT. (Baca juga:Pengertian Qurban Secara Lengkap dengan Penjelasannya).
Jika
kita menengok sisi historis dari perayaan Idul Adha ini, maka pikiran kita akan
teringat kisah teladan Nabi Ibrahim, yaitu ketika Beliau diperintahkan oleh
Allah SWT untuk menempatkan istrinya Hajar bersama Nabi Ismail putranya, yang
saat itu masih menyusu. Mereka ditempatkan disuatu lembah yang tandus, gersang,
tidak tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada
penghuni seorangpun. Nabi Ibrahim sendiri tidak tahu, apa maksud sebenarnya
dari wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan putranya yang masih bayi
itu, ditempatkan di suatu tempat paling asing, di sebelah utara kurang lebih
1600 KM dari negaranya sendiri palestina. Tapi baik Nabi
Ibrahim, maupin istrinya Siti Hajar, menerima perintah itu dengan
ikhlas dan penuh tawakkal.
Karena pentingnya peristiwa tersebut. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an:
Karena pentingnya peristiwa tersebut. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an:
رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي
زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ
أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ
لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Artinya: Ya Tuhan kami sesunggunnya aku telah menempatkan sebagian
keturunanku di suatu lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahmu
(Baitullah) yang dimuliakan. Ya Tuhan kami (sedemikian itu) agar mereka
mendirikan shalat. Maka jadikanlah gati sebagia manusia cenderung kepada mereka
dan berizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS
Ibrahim: 37)
Seperti
yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa tatkala Siti Hajar
kehabisan air minum hingga tidak biasa menyusui nabi Ismail, beliau
mencari air kian kemari sambil lari-lari kecil (Sa’i) antara bukit Sofa dan
Marwah sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus malaikat jibril membuat mata
air Zam Zam. Siti Hajar dan Nabi Ismail memperoleh sumber kehidupan.
Lembah
yang dulunya gersang itu, mempunyai persediaan air yang melimpah-limpah.
Datanglah manusia dari berbagai pelosok terutama para pedagang ke tempat siti
hajar dan nabi ismail, untuk membeli air. Datang rejeki dari berbagai penjuru,
dan makmurlah tempat sekitarnya. Akhirnya lembah itu hingga saat ini terkenal
dengan kota mekkah, sebuah kota yang aman dan makmur, berkat do’a Nabi Ibrahim
dan berkat kecakapan seorang ibu dalam mengelola kota dan masyarakat. Kota
mekkah yang aman dan makmur dilukiskan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dalam
Al-Qur’an:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِناً
وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ
Artinya: Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini, sebagai negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki
dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah
dan hari kiamat.”(QS Al-Baqarah: 126)
Dari
ayat tersebut, kita memperoleh bukti yang jelas bahwa kota Makkah hingga saat
ini memiliki kemakmuran yang melimpah. Jamaah haji dari seluruh penjuru dunia,
memperoleh fasilitas yang cukup, selama melakukan ibadah haji maupun umrah.
Hal
itu membuktikan tingkat kemakmuran modern, dalam tata pemerintahan dan ekonomi,
serta kaemanan hukum, sebagai faktor utama kemakmuran rakyat yang mengagumkan.
Yang semua itu menjadi dalil, bahwa do’a Nabi Ibrahim dikabulkan Allah SWT.
Semua kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh orang islam saja.
Orang-orang yang tidak beragama Islam pun ikut menikmati.
Allah SWT berfirman:
قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى
عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Artinya: Allah berfirman: “Dan kepada orang kafirpun, aku beri kesenangan sementara,
kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka. Dan itulah seburuk buruk tempat
kembali.” (QS. Al-Baqarah: 126)
Idul
Adha dinamai juga “Idul Nahr” artinya hari raya penyembelihan. Hal ini untuk
memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Akibat dari
kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan,
Allah memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan “Khalilullah” (kekasih
Allah).
Setelah
gelar Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku,
mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh
urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah berfirman: “Jangan menilai hambaku
Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”
Sebagai
realisasi dari firmannya ini, Allah SWT mengizinkan pada para malaikat menguji
keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan
tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah.
Dalam
kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi Ibrahim
memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain
mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah
yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner. Ketika pada suatu
hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka
dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah
menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta
anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”
Ibnu
Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan
bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki
oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman
dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya
yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan
ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri.
Sungguh sangat mengerikan! Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam
Al-Qur’an:
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن
شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail
menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah
engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS
Aa-saffat: 102)
Ketika
keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan sambil
berkata, “Ibrahim, kamu orang tua macam apa kata orang nanti, anak saja
disembelih?” “Apa kata orang nanti?” “Apa tidak malu? Tega sekali, anak
satu-satunya disembeli!” “Coba lihat, anaknya lincah seperti itu!” “Anaknya
pintar lagi, enak dipandang, anaknya patuh seperti itu kok dipotong!” “Tidak
punya lagi nanti setelah itu, tidak punya lagi yang seperti itu! Belum tentu
nanti ada lagi seperti dia.” Nabi Ibrahim sudah mempunya tekat. Ia mengambil
batu lalu mengucapkan, “Bismillahi Allahu akbar.” Batu itu dilempar. Akhirnya
seluruh jamaah haji sekarang mengikuti apa yang dulu dilakukan oleh Nabi Ibrahim
ini di dalam mengusir setan dengan melempar batu sambil mengatakan, “Bismillahi
Allahu akbar”. Dan hal ini kemudian menjadi salah satu rangkaian ibadah haji
yakni melempar jumrah.
Ketika
sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail mengira
ayahnya ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, agar tidak
muncul suatu kesan atau image dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk
dibaringkan karena dipaksa ia meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil
berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.
Nabi
Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya
yang telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah
berseru dengan firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah
diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah meridloi kedua ayah dan
anak memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah
mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai korban, sebagaimana
diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ
“Kami abadikan untuk Ibrahim
(pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian.”
سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“Yaitu kesejahteraan semoga
dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”
كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Demikianlah kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Menyaksikan
tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia
itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu
Allahu Akbar.” Yang kemudian dismbung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil
Hamdu.’
Pengorbanan
Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat umat manusia itu membuat
Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar, dan mempunyai arti besar.
Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail diatas, bagi kita harus
dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung pembelajaran paling
tidak pada tiga hal;
Pertama, ketakwaan. Pengertian taqwa terkait dengan ketaatan seorang
hamba pada Sang Khalik dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya.
Koridor agama (Islam) mengemas kehidupan secara harmoni seperti halnya
kehidupan dunia-akherat. Bahwa mereaih kehidupan baik (hasanah) di akhierat
kelak perlu melalui kehidupan di dunia yang merupakan ladang untuk memperbanyak
kebajikan dan memohon ridho Nya agar tercapai kehidupan dunia dan akherat yang
hasanah. Sehingga kehidupan di dunia tidak terpisah dari upaya meraih kehidupan
hasanah di akherat nanti. Tingkat ketakwaan seseorang dengan demikian dapat
diukur dari kepeduliannya terhadap sesamanya. Contoh seorang wakil rakyat yang
memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi tentu tidak akan memanfaatkan wewenang
yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri bahkan orang seperti ini akan
merasa malu jika kehiudpannya lebih mewah dari pada rakyat yang diwakilinya.
Kesiapsediaan Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya atas perintah Allah
menandakan tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim, sehingga tidak terjerumus
dalam kehidupan hedonis sesaat yang sesat. Lalu dengan kuasa Allah ternyata
yang disembelih bukan Ismail melainkan domba. Peristiwa ini pun mencerminkan
Islam sangat menghargai nyawa dan kehidupan manusia, Islam menjunjung tinggi
peradaban manusia.
Kedua, hubungan antar manusia. Ibadah-ibadah umat Islam yang
diperintahkan Tuhan senantiasa mengandung dua aspek tak terpisahkan yakni
kaitannya dengan hubungan kepada Allah (hablumminnalah) dan hubungan dengan
sesama manusia atau hablumminannas. Ajaran Islam sangat memerhatikan
solidaritas sosial dan mengejawantahkan sikap kepekaan sosialnya melalui media
ritual tersebut. Saat kita berpuasa tentu merasakan bagaimana susahnya hidup
seorang dhua'afa yang memenuhi kebutuhan poangannya sehari-hari saja sulit.
Lalu dengan menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada kaum tak berpunya
itu merupakan salah satu bentuk kepedualian sosial seoarng muslim kepada
sesamanya yang tidak mampu. Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong
dalam kebaikan merupakan ciri khas ajaran Islam. Hikmah yang dapat dipetik
dalam konteks ini adalah seorang Muslim diingatkan untuk siap sedia berkurban
demi kebahagiaan orang lain khususnya mereka yang kurang beruntung, waspada
atas godaan dunia agar tidak terjerembab perilaku tidak terpuji seperti
keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada
sang Pencipta.
Ketiga, peningkatan kualitas diri. Hikmah ketiga dari ritual
keagaamaan ini adalah memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian dan
pengelolaan diri yang merupakan cikal bakal akhlak terpuji seorang Muslim.
Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti membantu sesama manusia dalam kebaikan,
kebajikan, memuliakan tamu, mementingkani orang lain (altruism) dan senantiasa
sigap dalam menjalankan segala perintah agama dan menjauhi hal-hal yang
dilarang. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Muhammad memiliki akhlak yang
agung (QS Al-Qalam: 4). Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting merupakan
"buah" dari pohon Islam berakarkan akidah dan berdaun syari"ah.
Segala aktivitas manusia tidak terlepas dari sikap yang melahirkan perbuatan
dan tingkah laku manusia. Sebaliknya, akhlak tercela dipastikan berasal dari
orang yang bermasalah dalam keimanan merupakan manisfestasi dari sifat-sifat
syetan dan iblis.
Dari
sejarahnya itu, maka lahirlah kota Makkah dan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam
seluruh dunia, dengan air zam-zam yang tidak pernah kering, sejak ribuan
tahunan yang silam, sekalipun tiap harinya dikuras berjuta liter, sebagai
tonggak jasa seorang wanita yang paling sabar dan tabah yaitu Siti Hajar dan
putranya Nabi Ismail.
Hikmah
yang dapat diambil dari pelaksanaan shalat Idul Adha, bahwa hakikat manusia
adalah sama. Yang membedakan hanyalah taqwanya. Dan bagi yang menunaikan ibadah
haji, pada waktu wukuf di Arafah memberi gambaran bahwa kelak manusia akan
dikumpulkan dipadang mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban. (Baca
juga: Membumikan
Spritualitas Haji dan Qurban)
Post a Comment
Post a Comment